Jumat, 19 Maret 2010

Pemberontakan Separuh Jalan

Pemberontakan Separuh Jalan

JUMAT siang, 19 November 1956
RUANG makan Sekolah Staf dan Komando Angkatan Darat di Cibangkong, Bandung, riuh rendah. Ratusan perwira berpangkat kapten dan mayor sedang rehat di tengah acara reuni Korps Perwira SSKAD. Delegasi dari tujuh teritorium hadir. Reuni membahas kondisi Angkatan Darat yang retak berkubu-kubu.
Tiba-tiba Kapten Soemitro, wakil Teritorium V/Brawijaya, mendekati papan tulis. Arek Suroboyo berusia 25 tahun itu terkenal berani, pandai bicara, dan suka guyon. Semua menduga Soemitro-angkatan pertama SSKAD 1951, kelak Panglima Komando Operasi Pemulihan Keamanan dan Ketertiban-akan berpidato. Ternyata ia menggambar struktur Angkatan Darat.
Menurut dia, struktur baru itu bisa menyatukan kelompok-kelompok yang berseteru. Ia mencantumkan nama Herman Nicholas "Ventje" Sumual sebagai kepala staf. Sumual, letnan kolonel berusia 33 tahun, ketika itu Panglima Teritorium VII/Wirabuana. Wilayahnya paling luas, meliputi Sulawesi, Maluku, Bali, Nusa Tenggara, dan Irian Barat.
Suasana bertambah riuh. "Kenapa Tjakradipura cuma jadi wakil?" kata seorang mayor yang duduk di dekat Sumual. Letnan Kolonel Tjakradipura, ketua delegasi Markas Besar Angkatan Darat (MBAD), cuma tersenyum. Sumual agak kikuk. "Maklum, Tjakradipura dinilai perwira cerdas," kata Sumual, mengenang peristiwa 51 tahun silam itu, kepada Tempo, Juli lalu.
Sebelum Soemitro menghapus "corat-coret" itu, seorang polisi militer sempat memotretnya. Bisik-bisik pun berhamburan: aksi "subversif" itu bakal sampai ke MBAD. Kepala Staf AD Mayor Jenderal Abdul Haris Nasution pasti marah. Tapi sebagian pulang dengan hati ringan. Sumual sendiri tertawa ketika Soemitro menghampiri mejanya. "Saya menganggap itu cuma keisengannya," katanya.
Tapi tidak bagi delegasi Sumatera. Mereka melaporkan hasil reuni itu kepada Panglima Teritorium I/Bukit Barisan, Kolonel Maludin Simbolon, dengan serius. Sumatera memang paling anti-pemimpin AD. Simbolon menganggap "Wolay"-bahasa Minahasa yang artinya "monyet", julukan Sumual-cocok menjadi KSAD. "Mereka sangat tidak suka kepada (T.B.) Simatupang dan Nasution," kata Sumual.
Padahal para perwira itu memberi dukungan ketika Nasution, bersama 2.000 demonstran, mengepung Istana Negara pada 17 Oktober 1952, meminta Presiden Soekarno membubarkan parlemen. Mereka marah karena para politikus-selain rajin berkorupsi-terlalu ikut campur dalam urusan tentara, yang berbuntut dicopotnya Nasution sebagai KSAD.
Kubu-kubu bermunculan dalam perebutan posisi puncak Angkatan Darat itu. Kolonel Zulkifli Lubis, Kepala Badan Informasi Staf Angkatan Perang, menjadi pecundang. Nasution kembali naik. Kemelut bertambah akibat ketimpangan ekonomi pusat dan daerah. Inflasi tembus 33 persen, anggaran defisit, nilai rupiah 300 persen di atas harga riil.
Tentara di daerah menuntut perbaikan kesejahteraan. Nasution dinilai tak becus memenuhinya. Ia malah mengirim pasukan untuk menangkap panglima-panglima yang melakukan barter dan smokel (penyelundupan)-ekspor-impor tanpa memakai uang-untuk menghidupi prajurit dan membangun asrama.
Karena itu, Sumatera meneruskan aksi "iseng" Soemitro itu dengan merencanakan sebuah gerakan nasional menuntut otonomi. Maka, lima hari setelah reuni, para opsir itu berkumpul di Padang. Komandan Resimen Sumatera Tengah Letnan Kolonel Ahmad Husein paling aktif merumuskan agenda hingga ditunjuk menjadi ketua "Dewan Banteng".
Pembentukan dewan inilah yang memicu pergolakan daerah pada akhir 1950-an. Dewan lain bermunculan mewakili teritorium. Ada "Dewan Garuda" dan "Dewan Gadjah" di Sumatera Selatan dan Sumatera Utara serta dewan-dewan Hasanuddin di Sulawesi Selatan, Manguni di Sulawesi Utara, dan Lambung Mangkurat di Kalimantan.
Sumual mengajak mereka bersatu. Ia sendiri gerah melihat anak buahnya hidup berdesakan di tangsi-tangsi kumuh. "Maka lahirlah Perjuangan Semesta," katanya. Sumual, yang diangkat menjadi "Panglima Permesta", membacakan "proklamasi" di kantor Gubernur Sulawesi di Makassar pada pagi 2 Maret 1957.
Pada bagian akhir "proklamasi" dicantumkan: "... penyelesaian dilakukan dalam waktu sesingkat-singkatnya dalam arti tidak, ulangi, tidak melepaskan diri dari Republik Indonesia." Piagam yang ditandatangani 52 tokoh tentara dan sipil itu mengumumkan keadaan darurat perang, menyerukan otonomi daerah dan wakil di Dewan Nasional, mempercepat pembangunan, serta menyatukan kembali dwitunggal Soekarno-Hatta.
Anehnya, Presiden Soekarno tak bereaksi keras. Sumual menduga itu karena dalam piagam tak ditegaskan antikomunisme. Padahal menumpas komunisme menjadi penyebab lain para perwira ini bersekutu. Bung Karno ketika itu mulai memberi angin kepada PKI. Betapa tidak: dalam Pemilu 1955, PKI menempati posisi keempat dengan perolehan suara 16,4 persen, setelah PNI, Masyumi, dan Nahdlatul Ulama.
Kehadiran Permesta menambah kubu yang berseteru. Untuk memecah kebuntuan, Bung Karno menggelar Musyawarah Nasional pada 17 September 1957 dan Musyawarah Nasional Pembangunan dua bulan kemudian di Gedung Proklamasi. "Semua tuntutan Permesta disetujui Munas maupun Munap," kata Sumual. Panitia Tujuh yang dipimpin Bung Karno bertugas memulihkan keretakan di Angkatan Darat, dan Panitia Sembilan di parlemen melaksanakan hasil Munas.
Ketegangan mereda seandainya tak ada "Peristiwa Cikini", ketika empat pemuda antikomunis dari Gerakan Pemuda Islam Indonesia melempar granat ke halaman Perguruan Cikini, Jakarta Pusat, pada 30 November 1957. Bung Karno berkunjung dan berpidato di sana karena anak-anaknya belajar di sekolah elite itu. Usaha pembunuhan itu gagal, tapi banyak siswa menjadi korban.
Bung Karno marah. Sesampai di Istana, ia berkata kepada wartawan bahwa pelakunya Permesta. "Bagaimana kami mengacau, kami sedang di atas angin dengan hasil Munas," kata Sumual, yang ketika itu sedang menghadiri Munap. Presiden lalu membekukan hasil Munas dan Munap, bahkan memerintahkan agar para pentolan Permesta ditangkap.
Menurut Sumual, Peristiwa Cikini hanya dilatari masalah pribadi. Seorang pelempar granat, punya adik perempuan yang menjadi pagar ayu ketika Bung Karno berkunjung ke Sumbawa-negeri asal keempat aktivis itu. Si gadis rupanya kecewa karena Presiden memutuskan hubungan singkat itu. Dugaan lainnya, kata Sumual, PKI berada di balik peristiwa ini untuk menggagalkan hasil Munap.
Kelak, suatu hari di tahun 1977, Sumual menanyakan dalang di balik Peristiwa Cikini kepada Nasution. "Apa itu bukan rekayasa MBAD? Setidaknya bagian intel?" Nasution menjawab, "Entahlah. Waktu itu intelijen memang mulai tak sejalan dengan saya," seperti dicatat Bert Supit dan B.E. Matindas dalam biografi Sumual, Menatap Hanya ke Depan. Peristiwa Cikini menandai dimulainya konflik bersenjata di tubuh tentara.
l l l
PARA perwira daerah kembali bergerilya di hutan-hutan. Bukan bertempur melawan penjajah seperti pada 1945, melainkan baku tembak dengan saudara sendiri. Jaringan komunikasi diputus, mereka resmi dinyatakan sebagai pemberontak dan buron.
Komandan Resimen Bukit Barisan Letnan Kolonel Ahmad Husein mengutus anak buahnya ke Manado, mengundang Sumual. Sumual terbang ke Singapura, lalu menyewa speedboat ke Pekanbaru. Simbolon, Husein, Mohammad Natsir, dan Sumitro Djojohadikusumo menyambutnya di Sungai Dareh, daerah perbatasan Sumatera Barat dan Jambi.
Dari sana diskusi kian mengerucut untuk kembali membentuk wadah "melawan" pemerintah pusat. Maka terbentuklah Dewan Perjuangan yang diketuai Husein pada 10 Januari 1958. Sebulan kemudian, masuk anggota sipil seperti Sjafruddin Prawiranegara, bekas Menteri Keuangan, dan Burhanuddin Harahap, bekas perdana menteri. Husein dan Sumual bertugas membeli senjata dari luar negeri. Pada periode inilah masuk agen dinas rahasia Amerika, CIA, yang membawa misi menggulingkan Soekarno.
Dewan menyusun Piagam Perjuangan Menyelamatkan Negara yang menuntut pembubaran kabinet yang dipimpin Hatta dan Sultan Hamengku Buwono IX dalam waktu 5 x 24 jam. Pemerintah Soekarno dianggap inkonstitusional. "Soekarno menunjuk dirinya sendiri menjadi formatur untuk menyusun kabinet," kata Sumual. Bukannya menggubris, Presiden malah memecat Husein dan Simbolon.
Pemerintah tandingan pun dikukuhkan dengan nama Pemerintah Revolusioner Republik Indonesia (PRRI), dengan Sjafruddin sebagai perdana menteri. Untuk kedua kalinya "perang saudara" pecah. Para tokoh itu kembali masuk hutan. Pengkhianatan dari dalam menambah seru perburuan itu. Tak kurang dari 30 ribu anggota "pasukan" PRRI tewas. Setelah elite PRRI tertangkap atau menyerah, Bung Karno memberi amnesti dan abolisi.
Sumual mengenang, ketika mereka bertemu dengan Soekarno, Pemimpin Besar Revolusi itu mengatakan, "Tuan-tuan harus masuk karantina. Tuan-tuan kami tahan."
"Kenapa? Bukankah sudah ada amnesti?"
"Karena Tuan-tuan menghambat roda revolusi."
Soekarno kemudian mendekritkan Demokrasi Terpimpin, dengan dia sebagai pusatnya.
l l l
AKHIR 1961. Ahmad Husein gelisah ketika ke selnya, di Rumah Tahanan Militer, Jakarta Pusat, datang Kolonel Suparman. Ia diperintahkan menghadap Bung Karno di Istana Bogor. Husein menyangka inilah saatnya ia betul-betul disingkirkan.
Setiba dia di Istana, Bung Karno sudah dikelilingi Perdana Menteri Djuanda Kartawidjaja, Wakil Perdana Menteri Johannes Leimena, Menteri Pembangunan Chairul Saleh, dan Jenderal Ahmad Yani. Pembicaraan seputar PRRI.
"Don't talk about that anymore," Bung Karno menyergah. "Itu peristiwa sejarah yang pasti terjadi walaupun Ahmad Husein tidak dilahirkan di Indonesia atau tidak ada di Indonesia, dan ini proses sejarah. Tak ada satu kekuatan yang dapat menghambat atau menghalanginya."
"Kalau saya memberontak, Pak," Husein menimpali, "bukan kehendak saya memberontak, tapi Bapak yang menyuruh saya."
"Lo, kok kamu bilang saya yang menyuruh?"
"Ingatkah Bapak, pada tahun 1958 bulan Januari, Bapak berpidato di Surabaya: 'Kalau saya pemuda, saya akan berontak terhadap keadaan ini'."
"Jiamput, lu!"
Semua tertawa. Husein menceritakan dialog itu dalam peluncuran buku PRRI-Permesta, Strategi Membangun Indonesia tanpa Komunis karangan R.Z. Leirissa, sejarawan Universitas Indonesia, pada 30 November 1991, di Jakarta. Simbolon dan Sumual juga hadir.
Dari semua tokoh PRRI-Permesta yang masih hidup, tinggal Sumual dan Kapten Hafid Sholeh. Sumual masih bugar di usia 85 tahun. Suara orang Romboken, Sulawesi Utara, ini masih menggelegar. Setiap pagi, kakek sepuluh cucu itu jogging mengelilingi kompleks rumahnya di Pulo Mas, Jakarta Timur. Siangnya berangkat ke kantor sederhana di Jatinegara. "Berpikir terus," katanya soal resep tidak pikun.
Pada 1968, dua tahun setelah bebas, Sumual bersama tujuh pentolan PRRI-Permesta mendirikan PT Konsultasi Pembangunan Semesta. Ia menjadi direktur utama, Simbolon komisaris. "Pada 1967, lahir Undang-Undang Penanaman Modal Asing, kami bantu pengusaha asing soal pengetahuan lokal," katanya.
PT Konsultasi diteruskan anak-anak mereka. Sudarjanto Simbolon, 70 tahun, misalnya, kini menjadi komisaris. Anak sulung Maludin Simbolon itu giat mengumpulkan fakta seputar PRRI-Permesta untuk meluruskan buku sejarah yang mengecap gerakan ayahnya sebagai pemberontakan dan separatisme. "Kami hanya mengoreksi keadaan," kata Sumual.
Alasannya, Permesta-PRRI tak mempertahankan wilayah-seperti RMS, GAM, atau OPM-justru akan menyerbu Jakarta dan gagal di tengah jalan karena kurang koordinasi. Tapi ia mengakui bahwa PRRI sebuah pemberontakan kepada pemerintah yang inkonstitusional, dan menyiasati dibekukannya hasil Munas.
Di PRRI, keisengan Soemitro terwujud: Sumual menjabat KSAD berpangkat brigadir jenderal. Tak semua tokoh Permesta ikut PRRI, seperti M. Jusuf, yang menjadi Panglima ABRI era Orde Baru. Ada juga penentang Permesta yang ikut PRRI, seperti Partai Murba di Sulawesi.
Simbolon wafat di usia 84 tahun pada 2000, setahun sebelum otonomi daerah diberlakukan, dan empat tahun sebelum wakil-wakil daerah mengisi parlemen. "Kalau masih hidup, mungkin beliau menggelar syukuran besar-besaran," kata Sudarjanto. Itulah dulu dua hal yang mereka tuntut dari pemerintah pusat.

Sumber: http://majalah.tempointeraktif.com/id/arsip/2007/08/13/LU/mbm.20070813.LU124717.id.html

2 komentar: