Selasa, 09 November 2010

Kanguru Meloncat dalam PRRI/Permesta

Resensi Buku:

Kanguru Meloncat dalam PRRI/Permesta

Judul : Keterlibatan Australia dalam Pemberontakan PRRI/Permesta
Penulis : Hadi Soebadio
Penerbit : Gramedia Pustaka Utama, Jakarta, 2002
Halaman : 359 & xxxvii

Bisik-bisik keterlibatan Amerika dan Australia dalam PRRI/Permesta sudah lama terjadi di kalangan sejarawan. Leirissa menyebutkan bahwa pendapat yang mengatakan PRRI/Permesta adalah buatan CIA bertentangan dengan data yang dikumpulkan dalam bukunya, PRRI/Permesta: Strategi Membangun Indonesia Tanpa Komunis (PT Pustaka Utama Grafiti, 1997, hal. 194). Bahkan buku Hilman Adil, Hubungan Australia dengan Indonesia 1945-1962 (Djambatan, 1993, hal. 159) hanya berisikan pernyataan resmi Menteri Luar Negeri Australia, R.G. Casey, bahwa Canberra akan setia pada kebijaksanaan “netralitas yang tegas” atas situasi pergolakan di Sumatera dan Sulawesi. Padahal usaha untuk mengungkapkan keterlibatan asing itu sudah dilakukan, terutama lewat penuturan pelaku sejarah, seperti tertulis dalam monograf Barbara S. Harvey, Permesta: Half A Rebellion (Publication No. 57, Cornell Modern Indonesia Project, Southeast Asia Program, Cornell University, Ithaca, New York, 1977, hal. 106-107, sub judul “Foreign Assistance”). Tetapi informasi ini tertutup rapi, mengingat belum tersedianya dokumen-dokumen tertulis.

Baru setelah terbitnya laporan Audrey R. Kahin dan George McT. Kahin berjudul Subversi Sebagai Politik Luar Negeri: Menyingkap Keterlibatan CIA di Indonesia (Pustaka Utama Grafiti, 1997) berbagai informasi terhidang tentang peranan Central Intelligence Agency (CIA) dalam sejumlah gejolak hubungan pusat dan daerah, terutama sepanjang tahun 1950-1963, usai penyerahan kedaulatan dari Belanda ke Indonesia akhir tahun 1949.

Seolah melengkapi apa yang sudah diungkapkan oleh suami-istri Kahin, Hadi Soebadio memberikan paparan yang lebih lugas dan rinci dalam buku berjudul Keterlibatan Australia dalam Pemberontakan PRRI/Permesta ini. Sekalipun tidak disebutkan dalam bukunya, buku ini rencananya menjadi bahan disertasi Soebadio di salah satu universitas di Australia yang sayangnya tak selesai. Tapi sumbangan buku ini tak kurang artinya bagi kemajuan ilmu pengetahuan, menjelang usia Soebadio yang ke-68 tanggal 1 Desember 2002 nanti.
Buku ini terdiri dari 7 bab, tetapi hanya tiga bab yang menguraikan hubungan Indonesia-Australia. Bab 4: “Wujud Politik Australia terhadap Indonesia 1949-1962” secara substansi sebangun dengan buku Hilman Adil, yaitu lebih menyangkut kasus Irian Barat yang hendak direbut Indonesia dari tangan Belanda. Baru Bab 5: “Keterlibatan Australia dalam Pemberontakan PRRI/Permesta” menguraikan perspektif Australia dalam episode pergolakan di sejumlah daerah di Indonesia ini.
Selanjutnya, Bab 6: “Dinamika Perang Dingin Terhadap Hubungan Australia-Indonesia” memperlihatkan pasang-surut pilihan politik pemerintah Australia, terutama berkaitan dengan pemberontakan, juga status Irian Barat. Pergulatan pikiran kalangan pemerintahan Australia juga digambarkan, termasuk perubahan politik luar negeri Australia yang sebelum Perang Dunia II adalah: “Doktrin bahwa Australia akan pergi kemana Inggris pergi dan berperang dimana Inggris berperang,” menjadi bersifat “Khas Australia” usai Inggris menarik diri dari Pacifik. Sedangkan Bab 7: “Kesimpulan” merupakan ringkasan keseluruhan isi buku dalam sebelas item.
Soebadio lumayan berhasil memberikan informasi tambahan dari dokumen rahasia pemerintah Australia yang sudah bisa diakses publik. Intinya, dilema Australia menghadapi Perang Dingin, khususnya meluasnya pengaruh kelompok komunis di sekitar pemerintahan Soekarno di Jakarta; dan trauma Perang Dunia II sebelum Amerika terlibat sehingga Australia terus ketakutan menghadapi bahaya invasi militer Jepang di Pasifik. Ketakutan Australia juga terjadi sehubungan dengan sikap Amerika yang lebih memilih berunding dengan negara induk Australia, yakni Inggris, ketimbang “melirik” ke Australia. Dalam fase-fase paska PD II inilah, terjadinya PRRI/Permesta yang memberi ruang inovasi bagi Australia untuk meningkatkan perannya, sebagai sekutu baru Amerika dalam membendung pengaruh komunisme di Asia Pasifik.
Buku 359 halaman ini, ditambah dengan 37 (xxxviii) halaman pendahuluan, sebetulnya relatif sedikit menguraikan judul bukunya. Hanya halaman 210-211 dan diteruskan dengan halaman 223-264 (keseluruhan 43 halaman) yang menguraikan judul buku. Soebadio rupanya belum berhasil memastikan apa bantuan persenjataan Australia benar-benar ada, atau “baru sekedar wacana”, sebagaimana kecenderungan yang berkembang di Indonesia sekarang. Soebadio menulis: “Walaupun keterlibatan Australia dalam pemberontakan ini sukar ditentukan secara pasti, terutama peran ASIS (Australian Secret Intelligence Service), namun terdapat bukti yang makin banyak bahwa pemerintah Australia pada saat itu terlibat pemberontakan dan memberikan dukungan kepada CIA dengan bantuan departemen pertahanan (hal. 212). Bentuk keterlibatan Australia itu bukan hanya berupa simpati, tetapi Australia sesungguhnya memberikan bantuan berupa perangkat lunak, serta berupa bantuan berupa peralatan perang dan fasilitas-fasilitas lain (hal. 226).
Kesimpulan umum buku ini terdapat dalam kalimat: “Kalau dipelajari dengan seksama, dokumen-dokumen yang ada di Australian Archives yang disimpan di Canberra, menunjukkan bahwa politik Australia terhadap pemberontakan dalam negeri Indonesia antara ucapan di muka umum dan tindakan pemerintah Australia sangat berbeda” (hal. 228-229). Yang menjadi penghubung “bantuan simpati” adalah Soemitro Djojohadikusumo dari pihak PRRI/Permesta, dan Critchley sebagai Australian High Commisioner di Malaysia, terutama dengan keluarnya semacam memorandum tanggal 24 Desember 1957.
Sedangkan jenis bantuan material hanya disebutkan Casey sudah diserahkan dari berbagai markas (hal. 249), tetapi tidak sedetil bantuan senjata oleh CIA yang beberapa kali disinggung dalam buku ini.
Sekalipun kurang begitu meyakinkan bahwa Australia benar-benar terlibat dalam pemberontakan PRRI/Permesta, Soebadio memberikan sistem berpikir dalam politik hubungan luar negeri Australia dan Amerika. Mudahnya Australia mengalihkan dukungan kepada Nasution dan kawan-kawan di Jakarta, juga keterkejutan atas cepatnya pergerakan pasukan Angkatan Perang Republik Indonesia menduduki Pekanbaru dan Padang, serta mulainya kesadaran Amerika dan Australia bahwa Nasution dan kawan-kawan juga anti pada komunis, menunjukkan identitas politik luar negeri Australia dan Amerika untuk mengutamakan kepentingan mereka sendiri. Membaca uraian dalam buku ini memperlihatkan bahwa Australia dan Amerika relatif belum berubah dalam memberlakukan rezim politik dan militer Indonesia, baik dalam kasus Timor Lorosae, maupun dalam menggalang kekuatan menghadang kelompok terorisme internasional. Hal itulah yang menutupi sejumlah kelemahan teknis, juga kekurangan analisa, dalam buku ini, termasuk ketakterlibatan editor bahasa sebagai koki yang mestinya akan memberi bobot tersendiri.
(Indra J. Piliang, peneliti politik dan perubahan sosial Center for Strategic and International Studies (CSIS), Jakarta. Lulusan Ilmu Sejarah Fakultas Sastra UI.)
sumber:  
 
http://permesta.8m.net/news/2k20814_Australia_dlm_PRRI_Permesta.html