Selasa, 09 November 2010

Kanguru Meloncat dalam PRRI/Permesta

Resensi Buku:

Kanguru Meloncat dalam PRRI/Permesta

Judul : Keterlibatan Australia dalam Pemberontakan PRRI/Permesta
Penulis : Hadi Soebadio
Penerbit : Gramedia Pustaka Utama, Jakarta, 2002
Halaman : 359 & xxxvii

Bisik-bisik keterlibatan Amerika dan Australia dalam PRRI/Permesta sudah lama terjadi di kalangan sejarawan. Leirissa menyebutkan bahwa pendapat yang mengatakan PRRI/Permesta adalah buatan CIA bertentangan dengan data yang dikumpulkan dalam bukunya, PRRI/Permesta: Strategi Membangun Indonesia Tanpa Komunis (PT Pustaka Utama Grafiti, 1997, hal. 194). Bahkan buku Hilman Adil, Hubungan Australia dengan Indonesia 1945-1962 (Djambatan, 1993, hal. 159) hanya berisikan pernyataan resmi Menteri Luar Negeri Australia, R.G. Casey, bahwa Canberra akan setia pada kebijaksanaan “netralitas yang tegas” atas situasi pergolakan di Sumatera dan Sulawesi. Padahal usaha untuk mengungkapkan keterlibatan asing itu sudah dilakukan, terutama lewat penuturan pelaku sejarah, seperti tertulis dalam monograf Barbara S. Harvey, Permesta: Half A Rebellion (Publication No. 57, Cornell Modern Indonesia Project, Southeast Asia Program, Cornell University, Ithaca, New York, 1977, hal. 106-107, sub judul “Foreign Assistance”). Tetapi informasi ini tertutup rapi, mengingat belum tersedianya dokumen-dokumen tertulis.

Baru setelah terbitnya laporan Audrey R. Kahin dan George McT. Kahin berjudul Subversi Sebagai Politik Luar Negeri: Menyingkap Keterlibatan CIA di Indonesia (Pustaka Utama Grafiti, 1997) berbagai informasi terhidang tentang peranan Central Intelligence Agency (CIA) dalam sejumlah gejolak hubungan pusat dan daerah, terutama sepanjang tahun 1950-1963, usai penyerahan kedaulatan dari Belanda ke Indonesia akhir tahun 1949.

Seolah melengkapi apa yang sudah diungkapkan oleh suami-istri Kahin, Hadi Soebadio memberikan paparan yang lebih lugas dan rinci dalam buku berjudul Keterlibatan Australia dalam Pemberontakan PRRI/Permesta ini. Sekalipun tidak disebutkan dalam bukunya, buku ini rencananya menjadi bahan disertasi Soebadio di salah satu universitas di Australia yang sayangnya tak selesai. Tapi sumbangan buku ini tak kurang artinya bagi kemajuan ilmu pengetahuan, menjelang usia Soebadio yang ke-68 tanggal 1 Desember 2002 nanti.
Buku ini terdiri dari 7 bab, tetapi hanya tiga bab yang menguraikan hubungan Indonesia-Australia. Bab 4: “Wujud Politik Australia terhadap Indonesia 1949-1962” secara substansi sebangun dengan buku Hilman Adil, yaitu lebih menyangkut kasus Irian Barat yang hendak direbut Indonesia dari tangan Belanda. Baru Bab 5: “Keterlibatan Australia dalam Pemberontakan PRRI/Permesta” menguraikan perspektif Australia dalam episode pergolakan di sejumlah daerah di Indonesia ini.
Selanjutnya, Bab 6: “Dinamika Perang Dingin Terhadap Hubungan Australia-Indonesia” memperlihatkan pasang-surut pilihan politik pemerintah Australia, terutama berkaitan dengan pemberontakan, juga status Irian Barat. Pergulatan pikiran kalangan pemerintahan Australia juga digambarkan, termasuk perubahan politik luar negeri Australia yang sebelum Perang Dunia II adalah: “Doktrin bahwa Australia akan pergi kemana Inggris pergi dan berperang dimana Inggris berperang,” menjadi bersifat “Khas Australia” usai Inggris menarik diri dari Pacifik. Sedangkan Bab 7: “Kesimpulan” merupakan ringkasan keseluruhan isi buku dalam sebelas item.
Soebadio lumayan berhasil memberikan informasi tambahan dari dokumen rahasia pemerintah Australia yang sudah bisa diakses publik. Intinya, dilema Australia menghadapi Perang Dingin, khususnya meluasnya pengaruh kelompok komunis di sekitar pemerintahan Soekarno di Jakarta; dan trauma Perang Dunia II sebelum Amerika terlibat sehingga Australia terus ketakutan menghadapi bahaya invasi militer Jepang di Pasifik. Ketakutan Australia juga terjadi sehubungan dengan sikap Amerika yang lebih memilih berunding dengan negara induk Australia, yakni Inggris, ketimbang “melirik” ke Australia. Dalam fase-fase paska PD II inilah, terjadinya PRRI/Permesta yang memberi ruang inovasi bagi Australia untuk meningkatkan perannya, sebagai sekutu baru Amerika dalam membendung pengaruh komunisme di Asia Pasifik.
Buku 359 halaman ini, ditambah dengan 37 (xxxviii) halaman pendahuluan, sebetulnya relatif sedikit menguraikan judul bukunya. Hanya halaman 210-211 dan diteruskan dengan halaman 223-264 (keseluruhan 43 halaman) yang menguraikan judul buku. Soebadio rupanya belum berhasil memastikan apa bantuan persenjataan Australia benar-benar ada, atau “baru sekedar wacana”, sebagaimana kecenderungan yang berkembang di Indonesia sekarang. Soebadio menulis: “Walaupun keterlibatan Australia dalam pemberontakan ini sukar ditentukan secara pasti, terutama peran ASIS (Australian Secret Intelligence Service), namun terdapat bukti yang makin banyak bahwa pemerintah Australia pada saat itu terlibat pemberontakan dan memberikan dukungan kepada CIA dengan bantuan departemen pertahanan (hal. 212). Bentuk keterlibatan Australia itu bukan hanya berupa simpati, tetapi Australia sesungguhnya memberikan bantuan berupa perangkat lunak, serta berupa bantuan berupa peralatan perang dan fasilitas-fasilitas lain (hal. 226).
Kesimpulan umum buku ini terdapat dalam kalimat: “Kalau dipelajari dengan seksama, dokumen-dokumen yang ada di Australian Archives yang disimpan di Canberra, menunjukkan bahwa politik Australia terhadap pemberontakan dalam negeri Indonesia antara ucapan di muka umum dan tindakan pemerintah Australia sangat berbeda” (hal. 228-229). Yang menjadi penghubung “bantuan simpati” adalah Soemitro Djojohadikusumo dari pihak PRRI/Permesta, dan Critchley sebagai Australian High Commisioner di Malaysia, terutama dengan keluarnya semacam memorandum tanggal 24 Desember 1957.
Sedangkan jenis bantuan material hanya disebutkan Casey sudah diserahkan dari berbagai markas (hal. 249), tetapi tidak sedetil bantuan senjata oleh CIA yang beberapa kali disinggung dalam buku ini.
Sekalipun kurang begitu meyakinkan bahwa Australia benar-benar terlibat dalam pemberontakan PRRI/Permesta, Soebadio memberikan sistem berpikir dalam politik hubungan luar negeri Australia dan Amerika. Mudahnya Australia mengalihkan dukungan kepada Nasution dan kawan-kawan di Jakarta, juga keterkejutan atas cepatnya pergerakan pasukan Angkatan Perang Republik Indonesia menduduki Pekanbaru dan Padang, serta mulainya kesadaran Amerika dan Australia bahwa Nasution dan kawan-kawan juga anti pada komunis, menunjukkan identitas politik luar negeri Australia dan Amerika untuk mengutamakan kepentingan mereka sendiri. Membaca uraian dalam buku ini memperlihatkan bahwa Australia dan Amerika relatif belum berubah dalam memberlakukan rezim politik dan militer Indonesia, baik dalam kasus Timor Lorosae, maupun dalam menggalang kekuatan menghadang kelompok terorisme internasional. Hal itulah yang menutupi sejumlah kelemahan teknis, juga kekurangan analisa, dalam buku ini, termasuk ketakterlibatan editor bahasa sebagai koki yang mestinya akan memberi bobot tersendiri.
(Indra J. Piliang, peneliti politik dan perubahan sosial Center for Strategic and International Studies (CSIS), Jakarta. Lulusan Ilmu Sejarah Fakultas Sastra UI.)
sumber:  
 
http://permesta.8m.net/news/2k20814_Australia_dlm_PRRI_Permesta.html

Jumat, 19 Maret 2010

Kanguru Dalam Permesta

Kanguru Dalam Permesta

Bisik-bisik itu sudah lama terjadi di kalangan sejarawan: bahwa Amerika dan Australia terlibat dalam PRRI/Permesta. Beberapa buku yang pernah terbit berusaha membahas hal ini. Namun, "hidangan yang relatif lengkap" baru tersaji setelah Audrey R. Kahin dan George Mc T. Kahin menerbitkan laporan mereka. Judulnya, Subversi Sebagai Politik Luar Negeri: Menyingkap Keterlibatan CIA di Indonesia (Pustaka Utama Grafiti, 1997). Laporan ini menguraikan berbagai informasi tentang peran Pusat Intelijen Amerika (CIA) dalam sejumlah gejolak hubungan pusat dan daerah, terutama sepanjang tahun 1950-1963-seusai penyerahan kedaulatan dari Belanda ke Indonesia pada akhir tahun 1949. Seolah melengkapi apa yang sudah diungkapkan oleh suami-istri Kahin, Hadi Soebadio menulis buku Keterlibatan Australia dalam Pemberontakan PRRI/Permesta. Paparan yang dibuat Hadi lebih lugas dan rinci. Tadinya buku ini direncanakan menjadi bahan disertasi Soebadio di salah satu universitas di Australia. Walau niat itu tak kesampaian, sumbangan buku ini tak kurang artinya bagi kemajuan ilmu pengetahuan. Soebadio, 68 tahun, membagi buku ini dalam tujuh bab. Tetapi hanya tiga bab yang menguraikan hubungan Indonesia-Australia, yaitu Wujud Politik Australia terhadap Indonesia 1949-1962 (bab 4), yang menguraikan kasus Irian Barat yang hendak direbut Indonesia dari tangan Belanda. Lalu, Keterlibatan Australia dalam Pemberontakan PRRI/Permesta (bab 5). Bagian ini memaparkan perspektif Australia dalam episode pergolakan di sejumlah daerah di Indonesia ini. Selanjutnya adalah Dinamika Perang Dingin terhadap Hubungan Australia-Indonesia (bab 6). Soebadio lumayan berhasil memberikan informasi tambahan dari dokumen rahasia pemerintah Australia yang sudah bisa diakses publik. Intinya adalah dilema Australia menghadapi Perang Dingin, khususnya meluasnya pengaruh kelompok komunis di sekitar pemerintahan Sukarno di Jakarta. Juga trauma Perang Dunia (PD) II sebelum Amerika terlibat, sehingga Australia terus ketakutan menghadapi bahaya invasi militer Jepang di Pasifik. Dalam fase-fase pasca-PD II inilah muncul PRRI/Permesta. Pemberontakan ini memberi ruang inovasi bagi Australia untuk meningkatkan perannya sebagai sekutu baru Amerika dalam membendung pengaruh komunisme di Asia Pasifik. Buku setebal 359 halaman ini sebetulnya relatif sedikit menguraikan makna judulnya. Uraian yang sedikit itu (43 halaman) terdapat pada halaman 210-211 serta halaman 223-264. Dan Soebadio rupanya belum berhasil memastikan apakah bantuan persenjataan Australia benar-benar ada atau "baru sekadar wacana"-sebagaimana kecenderungan yang berkembang di Indonesia sekarang. Soebadio menulis: "Walaupun keterlibatan Australia dalam pemberontakan ini sukar ditentukan secara pasti, terutama peran ASIS, terdapat bukti yang makin banyak bahwa pemerintah Australia pada saat itu terlibat pemberontakan dan memberikan dukungan kepada CIA dengan bantuan Departemen Pertahanan (hlm. 212). Bentuk keterlibatan Australia itu bukan hanya berupa simpati, tetapi Australia sesungguhnya memberikan bantuan berupa perangkat lunak, serta bantuan berupa peralatan perang dan fasilitas-fasilitas lain" (hlm. 226). Kesimpulan umum buku ini terdapat dalam kalimat: "Kalau dipelajari dengan saksama, dokumen-dokumen yang ada di Australian Archives yang disimpan di Canberra menunjukkan bahwa politik Australia terhadap pemberontakan dalam negeri Indonesia antara ucapan di muka umum dan tindakan pemerintah Australia sangat berbeda" (hlm. 228-229). Sekalipun kurang berhasil meyakinkan bahwa Australia benar-benar terlibat dalam pemberontakan PRRI/Permesta, Soebadio dapat memperlihatkan sistem berpikir dalam politik hubungan luar negeri Australia dan Amerika. Berbagai uraian dalam buku ini mengacu pada satu hal: bahwa Australia dan Amerika relatif belum ber-ubah dalam memperlakukan rezim politik dan militer Indonesia, baik dalam kasus Timor Loro Sa'e maupun dalam menggalang kekuatan menghadang kelompok terorisme internasional. Buku itu tentu bukan tanpa kekurangan. Ada kekurangan analisis serta beberapa kelemahan teknis, termasuk tidak terlibatnya editor bahasa, yang mestinya bisa berperan sebagai koki yang memberikan sentuhan akhir kepada "hidangan" ini. Indra J. Piliang, peneliti politik dan perubahan sosial Center for Strategic and International Studies (CSIS), Jakarta. 

Sumber: http://majalah.tempointeraktif.com/id/arsip/2002/09/02/BK/mbm.20020902.BK80215.id.html

Pemberontakan Separuh Jalan

Pemberontakan Separuh Jalan

JUMAT siang, 19 November 1956
RUANG makan Sekolah Staf dan Komando Angkatan Darat di Cibangkong, Bandung, riuh rendah. Ratusan perwira berpangkat kapten dan mayor sedang rehat di tengah acara reuni Korps Perwira SSKAD. Delegasi dari tujuh teritorium hadir. Reuni membahas kondisi Angkatan Darat yang retak berkubu-kubu.
Tiba-tiba Kapten Soemitro, wakil Teritorium V/Brawijaya, mendekati papan tulis. Arek Suroboyo berusia 25 tahun itu terkenal berani, pandai bicara, dan suka guyon. Semua menduga Soemitro-angkatan pertama SSKAD 1951, kelak Panglima Komando Operasi Pemulihan Keamanan dan Ketertiban-akan berpidato. Ternyata ia menggambar struktur Angkatan Darat.
Menurut dia, struktur baru itu bisa menyatukan kelompok-kelompok yang berseteru. Ia mencantumkan nama Herman Nicholas "Ventje" Sumual sebagai kepala staf. Sumual, letnan kolonel berusia 33 tahun, ketika itu Panglima Teritorium VII/Wirabuana. Wilayahnya paling luas, meliputi Sulawesi, Maluku, Bali, Nusa Tenggara, dan Irian Barat.
Suasana bertambah riuh. "Kenapa Tjakradipura cuma jadi wakil?" kata seorang mayor yang duduk di dekat Sumual. Letnan Kolonel Tjakradipura, ketua delegasi Markas Besar Angkatan Darat (MBAD), cuma tersenyum. Sumual agak kikuk. "Maklum, Tjakradipura dinilai perwira cerdas," kata Sumual, mengenang peristiwa 51 tahun silam itu, kepada Tempo, Juli lalu.
Sebelum Soemitro menghapus "corat-coret" itu, seorang polisi militer sempat memotretnya. Bisik-bisik pun berhamburan: aksi "subversif" itu bakal sampai ke MBAD. Kepala Staf AD Mayor Jenderal Abdul Haris Nasution pasti marah. Tapi sebagian pulang dengan hati ringan. Sumual sendiri tertawa ketika Soemitro menghampiri mejanya. "Saya menganggap itu cuma keisengannya," katanya.
Tapi tidak bagi delegasi Sumatera. Mereka melaporkan hasil reuni itu kepada Panglima Teritorium I/Bukit Barisan, Kolonel Maludin Simbolon, dengan serius. Sumatera memang paling anti-pemimpin AD. Simbolon menganggap "Wolay"-bahasa Minahasa yang artinya "monyet", julukan Sumual-cocok menjadi KSAD. "Mereka sangat tidak suka kepada (T.B.) Simatupang dan Nasution," kata Sumual.
Padahal para perwira itu memberi dukungan ketika Nasution, bersama 2.000 demonstran, mengepung Istana Negara pada 17 Oktober 1952, meminta Presiden Soekarno membubarkan parlemen. Mereka marah karena para politikus-selain rajin berkorupsi-terlalu ikut campur dalam urusan tentara, yang berbuntut dicopotnya Nasution sebagai KSAD.
Kubu-kubu bermunculan dalam perebutan posisi puncak Angkatan Darat itu. Kolonel Zulkifli Lubis, Kepala Badan Informasi Staf Angkatan Perang, menjadi pecundang. Nasution kembali naik. Kemelut bertambah akibat ketimpangan ekonomi pusat dan daerah. Inflasi tembus 33 persen, anggaran defisit, nilai rupiah 300 persen di atas harga riil.
Tentara di daerah menuntut perbaikan kesejahteraan. Nasution dinilai tak becus memenuhinya. Ia malah mengirim pasukan untuk menangkap panglima-panglima yang melakukan barter dan smokel (penyelundupan)-ekspor-impor tanpa memakai uang-untuk menghidupi prajurit dan membangun asrama.
Karena itu, Sumatera meneruskan aksi "iseng" Soemitro itu dengan merencanakan sebuah gerakan nasional menuntut otonomi. Maka, lima hari setelah reuni, para opsir itu berkumpul di Padang. Komandan Resimen Sumatera Tengah Letnan Kolonel Ahmad Husein paling aktif merumuskan agenda hingga ditunjuk menjadi ketua "Dewan Banteng".
Pembentukan dewan inilah yang memicu pergolakan daerah pada akhir 1950-an. Dewan lain bermunculan mewakili teritorium. Ada "Dewan Garuda" dan "Dewan Gadjah" di Sumatera Selatan dan Sumatera Utara serta dewan-dewan Hasanuddin di Sulawesi Selatan, Manguni di Sulawesi Utara, dan Lambung Mangkurat di Kalimantan.
Sumual mengajak mereka bersatu. Ia sendiri gerah melihat anak buahnya hidup berdesakan di tangsi-tangsi kumuh. "Maka lahirlah Perjuangan Semesta," katanya. Sumual, yang diangkat menjadi "Panglima Permesta", membacakan "proklamasi" di kantor Gubernur Sulawesi di Makassar pada pagi 2 Maret 1957.
Pada bagian akhir "proklamasi" dicantumkan: "... penyelesaian dilakukan dalam waktu sesingkat-singkatnya dalam arti tidak, ulangi, tidak melepaskan diri dari Republik Indonesia." Piagam yang ditandatangani 52 tokoh tentara dan sipil itu mengumumkan keadaan darurat perang, menyerukan otonomi daerah dan wakil di Dewan Nasional, mempercepat pembangunan, serta menyatukan kembali dwitunggal Soekarno-Hatta.
Anehnya, Presiden Soekarno tak bereaksi keras. Sumual menduga itu karena dalam piagam tak ditegaskan antikomunisme. Padahal menumpas komunisme menjadi penyebab lain para perwira ini bersekutu. Bung Karno ketika itu mulai memberi angin kepada PKI. Betapa tidak: dalam Pemilu 1955, PKI menempati posisi keempat dengan perolehan suara 16,4 persen, setelah PNI, Masyumi, dan Nahdlatul Ulama.
Kehadiran Permesta menambah kubu yang berseteru. Untuk memecah kebuntuan, Bung Karno menggelar Musyawarah Nasional pada 17 September 1957 dan Musyawarah Nasional Pembangunan dua bulan kemudian di Gedung Proklamasi. "Semua tuntutan Permesta disetujui Munas maupun Munap," kata Sumual. Panitia Tujuh yang dipimpin Bung Karno bertugas memulihkan keretakan di Angkatan Darat, dan Panitia Sembilan di parlemen melaksanakan hasil Munas.
Ketegangan mereda seandainya tak ada "Peristiwa Cikini", ketika empat pemuda antikomunis dari Gerakan Pemuda Islam Indonesia melempar granat ke halaman Perguruan Cikini, Jakarta Pusat, pada 30 November 1957. Bung Karno berkunjung dan berpidato di sana karena anak-anaknya belajar di sekolah elite itu. Usaha pembunuhan itu gagal, tapi banyak siswa menjadi korban.
Bung Karno marah. Sesampai di Istana, ia berkata kepada wartawan bahwa pelakunya Permesta. "Bagaimana kami mengacau, kami sedang di atas angin dengan hasil Munas," kata Sumual, yang ketika itu sedang menghadiri Munap. Presiden lalu membekukan hasil Munas dan Munap, bahkan memerintahkan agar para pentolan Permesta ditangkap.
Menurut Sumual, Peristiwa Cikini hanya dilatari masalah pribadi. Seorang pelempar granat, punya adik perempuan yang menjadi pagar ayu ketika Bung Karno berkunjung ke Sumbawa-negeri asal keempat aktivis itu. Si gadis rupanya kecewa karena Presiden memutuskan hubungan singkat itu. Dugaan lainnya, kata Sumual, PKI berada di balik peristiwa ini untuk menggagalkan hasil Munap.
Kelak, suatu hari di tahun 1977, Sumual menanyakan dalang di balik Peristiwa Cikini kepada Nasution. "Apa itu bukan rekayasa MBAD? Setidaknya bagian intel?" Nasution menjawab, "Entahlah. Waktu itu intelijen memang mulai tak sejalan dengan saya," seperti dicatat Bert Supit dan B.E. Matindas dalam biografi Sumual, Menatap Hanya ke Depan. Peristiwa Cikini menandai dimulainya konflik bersenjata di tubuh tentara.
l l l
PARA perwira daerah kembali bergerilya di hutan-hutan. Bukan bertempur melawan penjajah seperti pada 1945, melainkan baku tembak dengan saudara sendiri. Jaringan komunikasi diputus, mereka resmi dinyatakan sebagai pemberontak dan buron.
Komandan Resimen Bukit Barisan Letnan Kolonel Ahmad Husein mengutus anak buahnya ke Manado, mengundang Sumual. Sumual terbang ke Singapura, lalu menyewa speedboat ke Pekanbaru. Simbolon, Husein, Mohammad Natsir, dan Sumitro Djojohadikusumo menyambutnya di Sungai Dareh, daerah perbatasan Sumatera Barat dan Jambi.
Dari sana diskusi kian mengerucut untuk kembali membentuk wadah "melawan" pemerintah pusat. Maka terbentuklah Dewan Perjuangan yang diketuai Husein pada 10 Januari 1958. Sebulan kemudian, masuk anggota sipil seperti Sjafruddin Prawiranegara, bekas Menteri Keuangan, dan Burhanuddin Harahap, bekas perdana menteri. Husein dan Sumual bertugas membeli senjata dari luar negeri. Pada periode inilah masuk agen dinas rahasia Amerika, CIA, yang membawa misi menggulingkan Soekarno.
Dewan menyusun Piagam Perjuangan Menyelamatkan Negara yang menuntut pembubaran kabinet yang dipimpin Hatta dan Sultan Hamengku Buwono IX dalam waktu 5 x 24 jam. Pemerintah Soekarno dianggap inkonstitusional. "Soekarno menunjuk dirinya sendiri menjadi formatur untuk menyusun kabinet," kata Sumual. Bukannya menggubris, Presiden malah memecat Husein dan Simbolon.
Pemerintah tandingan pun dikukuhkan dengan nama Pemerintah Revolusioner Republik Indonesia (PRRI), dengan Sjafruddin sebagai perdana menteri. Untuk kedua kalinya "perang saudara" pecah. Para tokoh itu kembali masuk hutan. Pengkhianatan dari dalam menambah seru perburuan itu. Tak kurang dari 30 ribu anggota "pasukan" PRRI tewas. Setelah elite PRRI tertangkap atau menyerah, Bung Karno memberi amnesti dan abolisi.
Sumual mengenang, ketika mereka bertemu dengan Soekarno, Pemimpin Besar Revolusi itu mengatakan, "Tuan-tuan harus masuk karantina. Tuan-tuan kami tahan."
"Kenapa? Bukankah sudah ada amnesti?"
"Karena Tuan-tuan menghambat roda revolusi."
Soekarno kemudian mendekritkan Demokrasi Terpimpin, dengan dia sebagai pusatnya.
l l l
AKHIR 1961. Ahmad Husein gelisah ketika ke selnya, di Rumah Tahanan Militer, Jakarta Pusat, datang Kolonel Suparman. Ia diperintahkan menghadap Bung Karno di Istana Bogor. Husein menyangka inilah saatnya ia betul-betul disingkirkan.
Setiba dia di Istana, Bung Karno sudah dikelilingi Perdana Menteri Djuanda Kartawidjaja, Wakil Perdana Menteri Johannes Leimena, Menteri Pembangunan Chairul Saleh, dan Jenderal Ahmad Yani. Pembicaraan seputar PRRI.
"Don't talk about that anymore," Bung Karno menyergah. "Itu peristiwa sejarah yang pasti terjadi walaupun Ahmad Husein tidak dilahirkan di Indonesia atau tidak ada di Indonesia, dan ini proses sejarah. Tak ada satu kekuatan yang dapat menghambat atau menghalanginya."
"Kalau saya memberontak, Pak," Husein menimpali, "bukan kehendak saya memberontak, tapi Bapak yang menyuruh saya."
"Lo, kok kamu bilang saya yang menyuruh?"
"Ingatkah Bapak, pada tahun 1958 bulan Januari, Bapak berpidato di Surabaya: 'Kalau saya pemuda, saya akan berontak terhadap keadaan ini'."
"Jiamput, lu!"
Semua tertawa. Husein menceritakan dialog itu dalam peluncuran buku PRRI-Permesta, Strategi Membangun Indonesia tanpa Komunis karangan R.Z. Leirissa, sejarawan Universitas Indonesia, pada 30 November 1991, di Jakarta. Simbolon dan Sumual juga hadir.
Dari semua tokoh PRRI-Permesta yang masih hidup, tinggal Sumual dan Kapten Hafid Sholeh. Sumual masih bugar di usia 85 tahun. Suara orang Romboken, Sulawesi Utara, ini masih menggelegar. Setiap pagi, kakek sepuluh cucu itu jogging mengelilingi kompleks rumahnya di Pulo Mas, Jakarta Timur. Siangnya berangkat ke kantor sederhana di Jatinegara. "Berpikir terus," katanya soal resep tidak pikun.
Pada 1968, dua tahun setelah bebas, Sumual bersama tujuh pentolan PRRI-Permesta mendirikan PT Konsultasi Pembangunan Semesta. Ia menjadi direktur utama, Simbolon komisaris. "Pada 1967, lahir Undang-Undang Penanaman Modal Asing, kami bantu pengusaha asing soal pengetahuan lokal," katanya.
PT Konsultasi diteruskan anak-anak mereka. Sudarjanto Simbolon, 70 tahun, misalnya, kini menjadi komisaris. Anak sulung Maludin Simbolon itu giat mengumpulkan fakta seputar PRRI-Permesta untuk meluruskan buku sejarah yang mengecap gerakan ayahnya sebagai pemberontakan dan separatisme. "Kami hanya mengoreksi keadaan," kata Sumual.
Alasannya, Permesta-PRRI tak mempertahankan wilayah-seperti RMS, GAM, atau OPM-justru akan menyerbu Jakarta dan gagal di tengah jalan karena kurang koordinasi. Tapi ia mengakui bahwa PRRI sebuah pemberontakan kepada pemerintah yang inkonstitusional, dan menyiasati dibekukannya hasil Munas.
Di PRRI, keisengan Soemitro terwujud: Sumual menjabat KSAD berpangkat brigadir jenderal. Tak semua tokoh Permesta ikut PRRI, seperti M. Jusuf, yang menjadi Panglima ABRI era Orde Baru. Ada juga penentang Permesta yang ikut PRRI, seperti Partai Murba di Sulawesi.
Simbolon wafat di usia 84 tahun pada 2000, setahun sebelum otonomi daerah diberlakukan, dan empat tahun sebelum wakil-wakil daerah mengisi parlemen. "Kalau masih hidup, mungkin beliau menggelar syukuran besar-besaran," kata Sudarjanto. Itulah dulu dua hal yang mereka tuntut dari pemerintah pusat.

Sumber: http://majalah.tempointeraktif.com/id/arsip/2007/08/13/LU/mbm.20070813.LU124717.id.html