Jumat, 19 Maret 2010

Kanguru Dalam Permesta

Kanguru Dalam Permesta

Bisik-bisik itu sudah lama terjadi di kalangan sejarawan: bahwa Amerika dan Australia terlibat dalam PRRI/Permesta. Beberapa buku yang pernah terbit berusaha membahas hal ini. Namun, "hidangan yang relatif lengkap" baru tersaji setelah Audrey R. Kahin dan George Mc T. Kahin menerbitkan laporan mereka. Judulnya, Subversi Sebagai Politik Luar Negeri: Menyingkap Keterlibatan CIA di Indonesia (Pustaka Utama Grafiti, 1997). Laporan ini menguraikan berbagai informasi tentang peran Pusat Intelijen Amerika (CIA) dalam sejumlah gejolak hubungan pusat dan daerah, terutama sepanjang tahun 1950-1963-seusai penyerahan kedaulatan dari Belanda ke Indonesia pada akhir tahun 1949. Seolah melengkapi apa yang sudah diungkapkan oleh suami-istri Kahin, Hadi Soebadio menulis buku Keterlibatan Australia dalam Pemberontakan PRRI/Permesta. Paparan yang dibuat Hadi lebih lugas dan rinci. Tadinya buku ini direncanakan menjadi bahan disertasi Soebadio di salah satu universitas di Australia. Walau niat itu tak kesampaian, sumbangan buku ini tak kurang artinya bagi kemajuan ilmu pengetahuan. Soebadio, 68 tahun, membagi buku ini dalam tujuh bab. Tetapi hanya tiga bab yang menguraikan hubungan Indonesia-Australia, yaitu Wujud Politik Australia terhadap Indonesia 1949-1962 (bab 4), yang menguraikan kasus Irian Barat yang hendak direbut Indonesia dari tangan Belanda. Lalu, Keterlibatan Australia dalam Pemberontakan PRRI/Permesta (bab 5). Bagian ini memaparkan perspektif Australia dalam episode pergolakan di sejumlah daerah di Indonesia ini. Selanjutnya adalah Dinamika Perang Dingin terhadap Hubungan Australia-Indonesia (bab 6). Soebadio lumayan berhasil memberikan informasi tambahan dari dokumen rahasia pemerintah Australia yang sudah bisa diakses publik. Intinya adalah dilema Australia menghadapi Perang Dingin, khususnya meluasnya pengaruh kelompok komunis di sekitar pemerintahan Sukarno di Jakarta. Juga trauma Perang Dunia (PD) II sebelum Amerika terlibat, sehingga Australia terus ketakutan menghadapi bahaya invasi militer Jepang di Pasifik. Dalam fase-fase pasca-PD II inilah muncul PRRI/Permesta. Pemberontakan ini memberi ruang inovasi bagi Australia untuk meningkatkan perannya sebagai sekutu baru Amerika dalam membendung pengaruh komunisme di Asia Pasifik. Buku setebal 359 halaman ini sebetulnya relatif sedikit menguraikan makna judulnya. Uraian yang sedikit itu (43 halaman) terdapat pada halaman 210-211 serta halaman 223-264. Dan Soebadio rupanya belum berhasil memastikan apakah bantuan persenjataan Australia benar-benar ada atau "baru sekadar wacana"-sebagaimana kecenderungan yang berkembang di Indonesia sekarang. Soebadio menulis: "Walaupun keterlibatan Australia dalam pemberontakan ini sukar ditentukan secara pasti, terutama peran ASIS, terdapat bukti yang makin banyak bahwa pemerintah Australia pada saat itu terlibat pemberontakan dan memberikan dukungan kepada CIA dengan bantuan Departemen Pertahanan (hlm. 212). Bentuk keterlibatan Australia itu bukan hanya berupa simpati, tetapi Australia sesungguhnya memberikan bantuan berupa perangkat lunak, serta bantuan berupa peralatan perang dan fasilitas-fasilitas lain" (hlm. 226). Kesimpulan umum buku ini terdapat dalam kalimat: "Kalau dipelajari dengan saksama, dokumen-dokumen yang ada di Australian Archives yang disimpan di Canberra menunjukkan bahwa politik Australia terhadap pemberontakan dalam negeri Indonesia antara ucapan di muka umum dan tindakan pemerintah Australia sangat berbeda" (hlm. 228-229). Sekalipun kurang berhasil meyakinkan bahwa Australia benar-benar terlibat dalam pemberontakan PRRI/Permesta, Soebadio dapat memperlihatkan sistem berpikir dalam politik hubungan luar negeri Australia dan Amerika. Berbagai uraian dalam buku ini mengacu pada satu hal: bahwa Australia dan Amerika relatif belum ber-ubah dalam memperlakukan rezim politik dan militer Indonesia, baik dalam kasus Timor Loro Sa'e maupun dalam menggalang kekuatan menghadang kelompok terorisme internasional. Buku itu tentu bukan tanpa kekurangan. Ada kekurangan analisis serta beberapa kelemahan teknis, termasuk tidak terlibatnya editor bahasa, yang mestinya bisa berperan sebagai koki yang memberikan sentuhan akhir kepada "hidangan" ini. Indra J. Piliang, peneliti politik dan perubahan sosial Center for Strategic and International Studies (CSIS), Jakarta. 

Sumber: http://majalah.tempointeraktif.com/id/arsip/2002/09/02/BK/mbm.20020902.BK80215.id.html

Tidak ada komentar:

Posting Komentar